Rangkuman Polemik Tafsir Pancasila

 Rangkuman Polemik Tafsir Pancasila

Artikel berjudul “Polemik Tafsir Pancasila: Studi Kasus Tafsir Keagamaan dan Hak Asasi Manusia (HAM)” karya Alamsyah M. Dja’far, yang diterbitkan oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, membahas secara mendalam bagaimana tafsir terhadap Pancasila telah menjadi medan perebutan wacana politik dan ideologis di Indonesia. Dalam tulisan ini, Alamsyah menyoroti bagaimana negara, melalui berbagai lembaganya, termasuk Kementerian Agama dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), kerap menjadi aktor utama dalam memproduksi tafsir resmi atas Pancasila. Tafsir ini kemudian digunakan sebagai dasar legal dan ideologis untuk mengatur serta membatasi ekspresi keagamaan dan keyakinan warga negara, terutama yang dianggap menyimpang dari arus utama. Penulis menunjukkan bahwa praktik-praktik ini tidak jarang mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.

Studi kasus pelarangan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah menjadi sorotan utama dalam artikel ini. Dalam kedua kasus tersebut, negara tampak berpihak kepada kelompok mayoritas yang menekan minoritas agama, dengan alasan menjaga harmoni sosial dan keutuhan bangsa. Namun, yang terjadi justru pembiaran atau bahkan justifikasi terhadap tindakan diskriminatif, persekusi, hingga kekerasan terhadap kelompok minoritas. Negara, alih-alih menjadi pelindung hak warga negara, justru berperan sebagai aktor yang turut mengukuhkan penindasan atas nama tafsir tunggal Pancasila. Hal ini memperlihatkan bagaimana tafsir keagamaan yang berkelindan dengan tafsir ideologi negara dapat menjadi alat yang membatasi kebebasan berkeyakinan secara sistematis.

Tulisan ini secara khusus membedah lima isu utama yang merepresentasikan kompleksitas dan dinamika penafsiran Pancasila sepanjang sejarah Indonesia. Isu pertama adalah hubungan antara Pancasila dan Islam, yang telah menjadi polemik sejak perumusan dasar negara. Kelompok Islam sempat mendorong agar Pancasila mencantumkan rumusan syariat, sebagaimana terlihat dalam Piagam Jakarta. Namun, kompromi politik menghapus frasa tersebut demi menjaga persatuan nasional. Meskipun demikian, ketegangan antara semangat nasionalisme dan aspirasi keislaman tetap berlangsung dalam berbagai bentuk, baik secara politik maupun kultural, hingga masa kini.

Isu kedua adalah relasi antara Pancasila dan organisasi atau partai Islam, yang selalu berada dalam dinamika tarik menarik antara akomodasi dan represi. Pada masa Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi masyarakat, termasuk ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Kebijakan ini menimbulkan resistensi karena dipandang sebagai upaya untuk mendomestikasi ekspresi politik Islam dan mengontrol ruang publik berbasis agama. Meskipun pada era Reformasi kebijakan ini telah dicabut, ketegangan ideologis dan prasangka terhadap organisasi Islam politik tetap membekas.

Isu ketiga berkaitan dengan Pancasila dan Marxisme/komunisme. Pasca peristiwa 1965, komunisme secara resmi dilarang dan dianggap sebagai ancaman ideologis terhadap negara Pancasila. Narasi ini diperkuat oleh Orde Baru melalui pendidikan, media, dan regulasi, seperti TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang melarang penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme. Pancasila dijadikan sebagai tameng ideologis untuk menolak segala bentuk pemikiran kiri, yang juga berdampak pada tertutupnya ruang diskusi ilmiah dan sejarah alternatif. Stigma terhadap komunisme masih sangat kuat hingga kini, bahkan ketika pembahasan bersifat akademis atau historis, yang menunjukkan bagaimana tafsir ideologis negara tetap menjadi alat kontrol yang efektif.

Isu keempat yang dibahas adalah Pancasila dan demokrasi. Dalam praktik politik Orde Baru, Pancasila digunakan untuk membatasi prinsip-prinsip demokrasi liberal. Konsep “demokrasi Pancasila” dijadikan justifikasi untuk membungkam oposisi, membatasi kebebasan pers, serta mengontrol partai politik dan organisasi masyarakat. Demokrasi yang dikembangkan saat itu lebih menekankan pada stabilitas, harmoni, dan ketaatan terhadap otoritas, daripada kebebasan berekspresi dan partisipasi politik yang setara. Setelah Reformasi 1998, tafsir terhadap demokrasi dalam bingkai Pancasila mulai mengalami pembaruan yang lebih terbuka, meskipun ketegangan antara kontrol negara dan kebebasan warga masih menjadi tantangan.

Isu kelima adalah Pancasila pasca-Reformasi. Sejak jatuhnya Orde Baru, terjadi kebangkitan simbolik terhadap Pancasila. Namun, absennya tafsir tunggal pasca-Reformasi justru membuka ruang bagi beragam aktor untuk memproduksi interpretasi sendiri terhadap nilai-nilai Pancasila, baik dari kalangan negara, masyarakat sipil, hingga kelompok keagamaan. Negara melalui lembaga seperti BPIP berusaha mengembalikan posisi Pancasila sebagai ideologi sentral, tetapi pendekatan yang digunakan seringkali bersifat normatif dan tidak membuka ruang cukup luas bagi keragaman tafsir. Akibatnya, Pancasila tetap rentan dijadikan alat politik untuk membatasi ekspresi atau identitas tertentu yang dianggap “tidak sesuai” dengan tafsir dominan.

Secara keseluruhan, artikel ini menegaskan bahwa penafsiran Pancasila tidak boleh dimonopoli oleh negara atau kelompok tertentu, melainkan harus dikembangkan secara inklusif dan partisipatif. Dalam negara yang plural dan demokratis seperti Indonesia, Pancasila seharusnya menjadi ruang dialog yang terbuka bagi berbagai kelompok, bukan menjadi alat hegemonik yang membatasi kebebasan berkeyakinan. Tafsir Pancasila yang adil dan menghargai HAM adalah prasyarat penting bagi terciptanya keadilan sosial dan kebhinekaan yang sejati di Indonesia.


Comments

Popular posts from this blog

Portofolio Matkul Agama

Laporan - Mata kuliah Agama